Hendaknya da'i itu mengilmu apa yang ia dakwahkan. Yaitu ia
memiliki ilmu tentang syariat Allah hingga ia tidak mendakwahkan orang kepada
kesesatan dalam keadaan tidak menyadarinya atau tidak mengetahuinya.
Da’i ilallah (yang mengajak ke jalan Allah) Subhanahu wa
ta’ala mereka mengerjakan salah satu aktifitas yang paling terbaik. Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا
إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً
وَقَالَ إِنَّنِي مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah
diri?”” (QS. Fushilat: 33).
Namun untuk menjadi seorang da’i harus memenuhi beberapa
hal:
Pertama: hendaknya ia mengilmu apa yang ia dakwahkan. Yaitu
ia memiliki ilmu tentang syariat Allah hingga ia tidak mendakwahkan orang
kepada kesesatan dalam keadaan tidak menyadarinya atau tidak mengetahuinya.
Maka seorang da’i itu harus belajar terlebih dahulu mengenai apa-apa yang
hendak ia dakwahkan dan mempelajari amalan-amalan yang akan ia dakwahkan,
mempelajari pendapat-pendapat yang akan ia dakwahkan, mempelajari apa saja
amalan-amalan yang dilarang agama, dan semisalnya
Kedua: hendaknya ia memahami kondisi orang-orang yang
didakwahi. Karena objek dakwah itu bermacam-macam keadaannya. Di antara mereka
ada yang memiliki ilmu sehingga da’i membutuhkan kekuatan ilmu dalam debat dan
diskusi. Di antara mereka ada yang tidak berilmu. Di antara mereka ada yang
keras kepala, dan ada pula yang tidak keras kepala. Intinya keadaan mereka
berbeda-beda, bahkan penerapan hukumnya juga akan berbeda karena perbedaan
kondisinya. Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengutus
Muadz ke Yaman beliau bersabda:
إنك تأتي قوماً أهل
كتاب
“engkau akan mendatangi sebuah kaum
dari ahlul kitab”
Rasulullah menjelaskan kepada Muadz mengenai keadaan objek
dakwahnya, sehingga ia siap untuk menyikapi mereka dengan sikap yang sesuai.
Ketika: hendaknya bersikap hikmah dalam dakwahnya. Yaitu ia
menyikapi orang yang didakwahi dengan sikap yang sesuai dan menyikapi setiap
persoalan dengan sikap yang sesuai pula. Kemudian ia memulai dakwahnya dari hal
yang paling urgen baru setelah itu hal yang urgensinya dibawahnya. Karena Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam ketika mengutus Muadz ke Yaman beliau bersabda:
وليكن أول ما تدعوهم
إليه شهادة أن لا
إله إلا الله وأن
محمد رسول الله فإن
هم أجابوك لذلك فأعلمهم
أن الله افترض عليهم
خمس صلوات في كل
يوم وليلة فإن هم
أجابوك لذلك فأعلمهم أن
الله افترض عليهم صدقة
تؤخذ من أغنيائهم وترد
على فقرائهم
“hendaklah yang pertama engkau
sampaikan kepada mereka ialah syahadat “La ilaha illallah Muhammad Rasulullah”.
Jika mereka telah mematuhi apa yang engkau dakwahkan itu, maka ajarkanlah
kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari
semalam. Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu dakwahkan itu, maka
ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang
diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang
faqir di antara mereka”” (HR. Bukhari – Muslim).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengurutkan prioritas
dakwah sesuai dengan tingkat urgensinya. Bukan sikap yang hikmah jika engkau
melihat orang yang kafir sedang merokok lalu engkau larang ia merokok sebelum
mengajaknya kepada Islam. Ini adalah poin yang sangat penting yang banyak
dilalaikan pada da’i, karena banyak diantara mereka begitu terikat pada
perkara-perkara parsial tanpa melihat secara komprehensif.
Keempat: hendaknya da’i memiliki akhlak yang baik dalam
perkataan, perbuatan, dan penampilan yang baik. Maksudnya penampilan yang baik
adalah penampilan yang layak untuk seorang da’i. Juga perbuatannya dan
perkataannya layak untuk seorang da’i. Yaitu hendaknya ia berhati-hati dan
tenang dalam berkata dan berbuat, memiliki pandangan yang mendalam. Sehingga ia
tidak mengesankan bahwa agama itu sulit, selama masih bisa untuk dihindari
kesan tersebut. Dan hendaknya ia tidak mengambil sikap yang keras selama masih
bisa berlemah lembut.
Demikianlah semestinya seorang insan ketika ia hendak
berdakwah kepada orang-orang kepada agama Allah. Karena banyak orang yang
berdakwah kepada orang-orang terkadang ia perbuatan dan perkataannya tidak
mencerminkan apa yang ia dakwahkan, karena menyelesihi apa yang ia dakwahkan
sendiri.
Padahal ada sebagian orang yang sudah menjadi da’i bil haal
(dakwah dengan praktek) sebelum ia berdakwah dengan lisannya (ceramah), yaitu
ketika orang-orang melihatnya mereka bisa mengingat Allah ‘azza wa jalla, hati
mereka jadi tenang, dan mereka punya kecondongan hati pada kebenaran.
Maka hendaknya para da’i memperhatikan masalah-masalah ini
agar dakwahnya diterima orang-orang dengan lebih sempurna.
(Fatawa Nuurun ‘alad Darb, 2/24)
***
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id

0 Comments